Thursday, September 18, 2025

Bisakah Suriah Bangkit dari Reruntuhan Ekonomi?

Lebih dari satu dekade perang telah meninggalkan Suriah dalam kondisi yang nyaris hancur total. Infrastruktur porak-poranda, lembaga pemerintahan rapuh, dan populasi yang tercerai-berai menjadi gambaran nyata dari krisis berkepanjangan. Kini, setelah lahirnya pemerintahan transisi di Damaskus pada akhir 2024 di bawah Presiden Ahmed Al Sharaa yang tak ingin meminjam uang dari luar negeri untuk rekonstruksi, muncul pertanyaan besar: bisakah Suriah benar-benar membangun kembali ekonominya?

Data Bank Dunia menunjukkan betapa parahnya kemunduran ekonomi Suriah. Pada 2011, saat perang pecah, Produk Domestik Bruto (PDB) Suriah masih berada di kisaran US$67,5 miliar. Namun pada 2023, angka itu anjlok drastis menjadi US$20 miliar, penurunan lebih dari 70%.

Depresiasi mata uang memperburuk keadaan. Pound Suriah telah kehilangan 99,5% nilainya terhadap dolar AS sejak 2011, merosot dari 50 pound per dolar menjadi lebih dari 10.000 pound per dolar saat ini. Perubahan ekstrem ini membuat perbandingan harga dari tahun ke tahun hampir mustahil dilakukan.

Untuk memahami kondisi harga riil di lapangan, dilakukan survei informal terhadap barang dan jasa nonperdagangan, seperti biaya sewa rumah, potong rambut, hingga tarif klinik swasta. Hasilnya menunjukkan harga dalam denominasi dolar justru naik sekitar 50% sejak 2010.

Temuan ini menegaskan bahwa inflasi Suriah bukan sekadar akibat jatuhnya nilai tukar, tetapi nyata dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Di wilayah yang relatif stabil, harga-harga meningkat tajam, sementara di kota yang hancur karena perang, harga stagnan atau bahkan menurun. Itu masih ditambah penguasaan SDG Kurdi atas 70 persen ladang migas Suriah di luar kontrol pemerintah, separatisme milisi Druze Al Hajri pro Israel dan serangan sporadis dari eks pendukung Bashar Al Assad dari kalangan Alawite.

Pemerintahan Suriah yang baru kini praktis harus membangun negaranya dari nol. Jika era Assad, ekonomi Suriah masih ditopang bantuan dan investasi dari Rusia dan Iran, kini praktis tidak ada. LSM juga sudah mengurangi bantuan karena menganggap Suriah sudsh lepas dari kediktatoran Assad, padahal justru ancaman baru menanti dalam tantangan rekonstruksi.

Bila diukur dengan dolar konstan 2010, PDB Suriah pada 2024 diperkirakan hanya sekitar US$13,3 miliar. Itu berarti penurunan hingga 80% dari kondisi sebelum perang. Angka ini jauh lebih akurat dalam mencerminkan kesejahteraan, produktivitas, dan standar hidup masyarakat.

Sebagai perbandingan, jika Suriah tetap tumbuh dengan rata-rata 5% per tahun seperti sebelum 2011, maka PDB negara itu kini seharusnya menyentuh US$121,3 miliar. Kesenjangan besar inilah yang memperlihatkan dampak perang yang begitu menghancurkan.

Tantangan pemulihan sangatlah besar. Dengan pertumbuhan 7% per tahun, Suriah butuh waktu lebih dari 30 tahun untuk kembali ke jalur ekonominya sebelum perang. Bahkan dengan skenario optimis pertumbuhan 10% sekalipun, butuh setidaknya dua dekade untuk mengejar ketertinggalan.

Penyebab kehancuran ini sudah jelas. Perang menghancurkan modal fisik, mengusir tenaga kerja terampil, melemahkan lembaga negara, dan menjerat Suriah dalam sanksi internasional yang ketat. Semua faktor itu membentuk pusaran krisis yang sulit diurai.

Meski begitu, ada secercah harapan. Pemerintah transisi kerap berbicara tentang “Suriah baru”, menggambarkan visi rekonstruksi dan pembangunan kembali. Namun tanpa strategi nyata, slogan tersebut bisa sekadar retorika kosong.

Investasi asing menjadi salah satu kunci penting. Akan tetapi, kehadirannya terganjal sanksi internasional dan kondisi keamanan yang belum sepenuhnya stabil. Tanpa jaminan hukum dan keamanan, investor global masih enggan menanamkan modalnya.

Di sisi lain, diaspora Suriah berpotensi memainkan peran penting. Kiriman uang dari jutaan warga Suriah di luar negeri bisa menjadi modal awal untuk memutar roda ekonomi. Namun, arus ini belum cukup untuk menutup jurang kebutuhan dana rekonstruksi.

Sektor pertanian, yang dulunya menjadi tulang punggung ekonomi, kini tinggal bayangan. Banyak lahan terbengkalai atau rusak parah akibat perang. Revitalisasi pertanian bisa menjadi langkah cepat dalam menyediakan lapangan kerja sekaligus memperbaiki ketahanan pangan.

Industri kecil dan menengah juga bisa menjadi penopang pemulihan awal. Meski kapasitasnya terbatas, sektor ini lebih mudah bangkit dibanding proyek infrastruktur raksasa yang membutuhkan dana besar dan waktu panjang.

Masalah besar lain adalah pengangguran. Jutaan orang kehilangan pekerjaan selama perang, dan banyak di antaranya mengungsi ke luar negeri. Mengembalikan tenaga kerja terampil akan sangat sulit jika Suriah tidak mampu menjamin stabilitas politik dan keamanan.

Selain itu, integrasi sosial juga berperan penting. Konflik yang memecah belah masyarakat menyisakan luka mendalam. Tanpa rekonsiliasi, sulit membayangkan roda ekonomi bisa berputar dengan lancar di tengah fragmentasi sosial.

Para ahli menekankan bahwa rekonstruksi ekonomi Suriah bukan hanya soal membangun kembali gedung dan jalan, tetapi juga membangun kepercayaan. Kepercayaan antara rakyat dengan pemerintah, antara pelaku usaha dengan investor, serta antara komunitas yang pernah bertikai.

Meski jalannya panjang, pengalaman negara lain pascakonflik memberi gambaran bahwa pemulihan selalu mungkin terjadi. Kuncinya ada pada stabilitas, tata kelola yang transparan, serta dukungan internasional yang konsisten.

Suriah kini berdiri di persimpangan sejarah. Dari abu perang, negara ini bisa memilih untuk merangkak bangkit menuju pemulihan, atau terjebak lebih lama dalam krisis. Jalan yang dipilih akan menentukan nasib jutaan rakyat yang menanti harapan baru.

No comments:

Post a Comment